Kamis, 04 November 2010

SEKILAS TENTANG PULAU GEMANTUNG

Copy from Apriansyach Taufik (Facebook) Lauched at Tuesday, October 20, 2009 at 7:34pm, Apriansyach توفيق (Blogspot) Lauched at Rabu, 07 Oktober 2009.


Pulau Gemantung adalah sebuah Kesatuan Desa yang termasuk ke dalam Wilayah Administratif Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

Pulau Gemantung saat ini terdiri dari empat desa yaitu Pulau Gemantung Induk (Pusat), Pulau Gemantung Ilir (Hilir/Sabah), Pulau Gemantung Ulu (Hulu) dan Pulau Gemantung Darat (Urai - Urai). Masing-masing dari empat desa tersebut dikepalai oleh seorang Kepala Desa yang bertanggung jawab atas pemerintahan administratif dari masing-masing wilayah desanya. Namun secara kultur dan lingkungan, masyarakat Pulau Gemantung pada umumnya masih berbaur dengan akrab antara satu desa dengan desa yang lainya, ini disebabkan karena pada awal mulanya desa tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, namun seiring perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, akhirnya pada tahun 2007 Pulau Gemantung dibagi menjadi empat desa.


Pulau Gemantung dihuni oleh sekitar 5500 - 6000 jiwa penduduk lebih. Sebagian besar dari jumlah penduduknya adalah pribumi/penduduk asli. Agama yang di anut adalah agama Islam, yang sudah mengakar sejak lama dan berbaur dengan unsur budayanya.

Budaya setempat sangat dipengaruhi oleh tiga kerajaan serumpum melayu, diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Skala Brak (Daerah Ranau perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung) dan Kesultanan Palembang Darussalam yang pernah berjaya dimasing - masing masanya dan membawa pengaruh yang melekat hingga kini.
Hal ini terbukti dari bahasa, adat istiadat serta budaya yang berlaku.
Bahasa yang dipergunakan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakatnya adalah Bahasa Komering dengan dialek Marga Bengkulah. Bahasa Komering dialek Marga Bengkulah merupakan sebuah bahasa yang termasuk kedalam rumpun bahasa Lampung/Skala Brak atau dalam klan bahasa dunia termasuk kedalam rumpun Bahasa Melayu Proto (Penduduk pendatang dan penghuni pertama di daratan Pulau Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya). Dialek Marga Bengkulah akan terdengar cenderung berintonasi lebih datar, halus serta tidak mendayu jika dibandingkan dengan Bahasa Komering Ulu (mendiami bagian hulu Sungai Komering) yang intonasinya akan cenderung lebih tegas, tinggi dan mendayu.


Pakaian Adat 2



Rumah Limas

Jika dilihat dari aspek adat istiadat serta budaya, mulai dari pakaian tradisional, makanan, tata cara adat atau prilaku sosial masyarakat, arsitektur rumah adat, kerajinan tangan dan peralatan rumah tangga tradisional, serta seni tari dan musik dsb. Maka semua masih merujuk kepada warisan dan pengaruh budaya dari Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang Darussalam.

Rumah Adat Marga Bengkulah, salah satu situs/peninggalan sejarah yang sudah terlupakan di Sumatera Selatan.


Pempek


Sedangkan dalam aspek hukum adat dan hukum sosial yang berlaku, lebih dipengaruhi dan berpedoman kepada hukum Islam yang penerapannya diselaraskan dengan budaya setempat serta tidak mengurangi dan mencemari kemurnian keduanya.
Bauran unsur pengaruh budaya tersebut menjadi sangat harmonis dan menjadi jati diri yang utuh dari masyarakat Pulau Gemantung, yang tentunya harus dapat dijaga dan dilestarikan oleh generasi penerusnya.

Mata pencarian utama penduduk Pulau Gemantung adalah bertani, berkebun, dagang, abdi negara dan masyarakat. Hal lain yang cukup menarik yaitu kebiasaan dari sebagian penduduknya, terutama laki-laki yang sudah berusia matang akan cenderung pergi merantau (keluar daerah) dengan berbagai alasan dan kepentingan, baik untuk bekerja atau menuntut ilmu (belajar), kebiasaan yang telah lama berlangsung ini disebabkan karena jauhnya akses ke pusat kota dan pemerintahan, ketersediaan lapangan pekerjaan dan peluang upaya pengembangan diri serta peluang pencarian napkah di daerah tersebut masih sangat minim.


Manggis


Hasil utama komoditi pertanian didaerah tersebut adalah padi, sayur-sayuran serta kacang-kacangan. Untuk komoditi perkebunan, hasil utama lebih didominasi oleh buah-buahan diantaranya adalah Pisang, Duku/Langsak (Komering/Palembang), Durian, Rambutan, Manggis dan Kelapa. Sedangkan untuk komoditi perkebunan non buah-buahan yang saat ini sedang marak-maraknya dikembangkan oleh masyarakat adalah Perkebunan Karet (latex).





(Banggalah terhadap kampung halamanmu, karena dari sanalah kamu berasal).
By: Apriansyach Taufik @ Depok Jumat, 14/08/2009.

Duku


Pohon Duku

DEFINISI LAMBANG PULAU GEMANTUNG

by Pulau Gemantung on Thursday, June 17, 2010 at 2:31pm
 
Lambang Pulau Gemantung (Hanya Sebuah Kreasi)

Secara sederhana lambang Pulau Gemantung yang kami buat tidak semata-mata hanya dilatar belakangi akan unsur keindahan dan bentuk fisiknya semata. Namun dalam setiap goresan, gambar dan tulisan yang tertera pada lambang tersebut mengadung makna filosofi yang kami ambil dari kearifan dan kondisi Pulau Gemantung yang sebenarnya. Berikut penjelasannya:


Gambar sebuah bangunan yang didasari pada pondasi yang rata yaitu melambangkan kesamaan hak dan kewajiban warga/masyarakat untuk berkontribusi didalam pembangunan desa, serta sebagai lambang kebersamaan dari setiap individu warga/masyarakat Pulau Gemantung. Empat pilar yang menopang bangunan melambangkan empat buah desa bagian Pulau Gemantung yang terdiri dari Pulau Gemantung Ilir, Pulau Gemantung Induk, Pulau Gemantung Ulu dan Pulau Gemantung Darat. Atap bangunan yang berpalang silang adalah melambangkan identitas budaya lokal yang tetap dipegang teguh oleh warga/masyarakat Pulau Gemantung.


Gambar Dua kuntum tangkai padi yang melambangkan kesejahteraan dan keadilan.


Gambar Bulan dan Bintang melambangkan azas budaya yang bersendikan kepada Syariat Islam.


Seleyer (kain Panjang) yang bertuliskan "Bersatu dan Berjaya" melambangkan keutuhan visi dan misi yang diemban, guna memelihara persatuan dan mewujutkan kejayaan.


Gambar sebuah prisai yang melambangkan perlindungan akan unsur-unsur kearifan lokal sebagai identitas dan jatidiri warga/masyarakat Pulau Gemantung.


Tulisan "Pulau Gemantung" adalah melambangkan kebanggaan akan sebuah nama dan identitas diri yang patut disyukuri oleh setiap warga/masyarakat Pulau Gemantung.


Sebuah semboyan yang bertuliskan "Poda Ram Sahuwonan" yang artinya "Sesama kita saling peduli". Merupakan salah satu semboyan yang sangat dikenal dan memberikan semangat persatuan dan kesatuan masyarakat Pulau Gemantung.

Adapun tiga warna yang digunakan pada lambang ini adalah Hijau, Hitam dan Kuning Keemasan. Setiap warna tersebut mempunyai makna tersendiri.
Warna Hijau melambangkan kemurnian (nature/mature) dan kesahajaan yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman (Syariat).
Warna Hitam yang terdapat pada garis penegasan dan tulisan adalah melambangkan ketegasan dan kemandirian dalam berbuat dan berfikir.
Warna Kuning Keemasan adalah melambangkan keindahan, kemuliyaan dan kearifan resam budaya yang dipegang.

Demikian sekilas penjabaran lambang Pulau Gemantung yang kami buat, sebelumnya kami mohon maaf kepada seluruh petua adat, tokoh masyarakat dan para pemangku desa serta warga/masyarakat Pulau Gemantung pada umumnya, apabila terdapat banyak kekurangan dan penyalahgunaan nama dan makna yang kami suguhkan pada lambang ini.
Adapun lambang ini hanyalah bersifat "tidak formal" karena pembuatannya hanya melibatkan pemikiran dari pengurus/pengelola akun facebook Pulau Gemantung semata. Maka baik saran maupun kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
Untuk distribusinya silahkan dikirimkan melalui kolom dialog "comment" pada note ini atau melalui email kami: pulaugemantung@yahoo.com.


Salam Sekolpah
Sikinduwa Pulau Gemantung
Terima Kasih

Yang menyukai catatan ini: Marwiah Santoso, Sulaiman Kastama, Azrie Bengkulah and 2 others like this.
 
Terima kasih sikam ucapko atas komentar-komentar sei kuruk melalui facebook Pulau Gemantung:
 
Marwiah Santoso (June 17 at 8:38 am) makka barih alih mak jempol rua.....................top....pokokna.





Abdurrahman Ashabul Yamin (June 17 at 9:17 am) amagom bgeeet jd bgian dr masyarakat comrieng,dipa da joda mak kukacaiko...

SEBUAH KESALAHAN BESAR YANG MENYATAKAN BAHWA ASAL-USUL SUKU KOMERING MASIH ADA HUBUNGANNYA DENGAN SUKU BATAK DI SUMATERA UTARA.

by Pulau Gemantung on Sunday, July 4, 2010 at 9:42am
 
Suku Komering adalah satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau Sungai di dataran Sumatera Selatan yang menandai daerah kekuasaan Komering.

Sebagaimana juga ditulis Zawawi Kamil (Menggali Babad & Sedjarah Lampung) disebutkan dalam sajak dialek Komering: "Adat lembaga sai ti pakaisa buasal jak Belasa Kapampang, sajaman rik Tanoh Pagaruyung pemerintah Bunda Kandung, cakak di Gunung Pesagi rogoh di Sekala Berak, sangon kok turun-temurun jak ninik puyang paija, cambai urai ti usung dilom adat pusako". Terjemahannya berarti "Adat Lembaga yang digunakan ini berasal dari Belasa Kepampang (Nangka Bercabang), sezaman dengan Ranah Pagaruyung pemerintah Bundo Kandung di Minang Kabau, Naik di Gunung Pesagi turun di Sekala Brak, Memang sudah turun temurun dari nenek moyang dahulu, Sirih pinang dibawa di dalam adat pusaka, Kalau tidak pandai tata tertib tanda tidak berbangsa".

Suku Komering terbagi beberapa marga, di antaranya Marga Paku Sengkunyit, Marga Sosoh Buay Rayap, Marga Buay Pemuka Peliyung, Marga Buay Madang, Marga Semendawai (OKU) dan Marga Bengkulah (OKI). Di Wilayah budaya Komering merupakan wilayah yang paling luas jika dibandingkan dengan wilayah budaya suku-suku lainnya di Sumatra Selatan.

Sejak abad pertengahan, Suku Komering, sama halnya dengan rumpun Melayu lainnya, menerima Islam sebagai sebuah agama dan kepercayaan. Kedatangan Islam itu melahirkan mitos. Mitosnya mengenai seorang panglima dari bala tentara Fatahilah, Banten, bernama Tan Dipulau, yang menjadi tamu di daerah Marga Semendawai Suku III. Ia datang menggunakan perahu menelusuri Sungai Komering. Tan Dipulau berlabuh dan menetap di daerah Marga Semendawai Suku III, tepatnya di Dusun Kuripan. Keturunan TanDdipulau membuka permukiman baru di seberang sungai atau seberang dusun Kuripan, yang disebut Dusun Gunung Jati. Selanjutnya, Marga Semendawai disebut keturunan Tandipulau dari Dusun Kuripan. Sedangkan untuk di Marga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.

Tan dipulau dalam Bahasa Komering berarti 'Tuan di Pulau'. Makamnya, yang terletak di Dusun Kuripan, hingga kini masih terpelihara. Masyarakat Komering, khususnya marga Semendawai, sering berziarah kubur ke makam tersebut.

Mitos lain yang beredar dan merupakan sebuah kesalahan besar yang menyatakan bahwa asal-usul Suku Komering masih ada hubungannya dengan Suku Batak di Sumatera Utara, dimana dikatakan bahwa Suku Komering dengan Suku Batak Sumatera Utara dikisahkan masih bersaudara, kakak-beradik yang datang dari negeri seberang. Setelah sampai di Sumatra, mereka berpisah. Sang kakak pergi ke selatan menjadi puyang Suku Komering, dan sang adik ke utara menjadi nenek moyang Suku Batak. Apa yang mendasari pendapat para penulis tersebut, apakah hanya sebatas dari sumber cerita rakyat yang tidak mempunyai bukti kongkrit dan kejelasan akan fakta tersebut. Bahkan cerita rakyat yang menyatakan mitos tersebut tidak diketahui secara menyeluruh oleh semua masyarakat Komering, dan hanya berkembang di daerah Ogan komering Ulu, itupun tidak menyebar secara luas.

Karena jika dilihat dari segi Adat Istiadat, mulai dari rumah dan pakaian adat, makanan tradisional, hukum, tatacara adat serta kebiasaan masyarakat, sama sekali tidak ditemukan kemiripan yang identik yang dapat mendifinisikan bahwa adanya hubungan asal-usul antara Suku Komering dengan Suku batak di Sumatera Utara. Kemudian jika dilihat dari segi etnis atau ras, mulai dari bentuk wajah dan warna kulit, juga tidak ditemukan kemiripan yang identik, karena biasanya orang yang berasal dari Suku Batak memiliki rahang bawah yang lebih tegas dan cenderung membentuk segi dengan tulang alis dan tulang pipi yang sedikit lebih menonjol, berbeda dengan orang yang berasal dari Suku Komering yang memiliki ciri-ciri fisik yang lebih mirip dengan ras Melayu pada umumnya.

Apa yang melatar belakangi pendapat tersebut? lagi-lagi pertanyaan ini sering terngiang pada pikiran kami, bahkan mungkin pada anda semua sebagai pembaca. Dilihat dari segi Bahasa, apakah hanya dikarenakan adanya beberapa kosa kata dari masyarakat Suku Komering ada kemiripannya dengan Suku Batak di Sumatera Utara, jika itu yang mendasari pendapat tersebut, seberapa banyak kemiripan kosa kata yang ada? Kalau hanya terdapat 10 atau 15 kosa kata itu bukan merupakan bukti kuat yang dapat membenarkan pendapat tersebut.

Jika kita cermati dengan lebih rinci kemiripan kosa kata Bahasa Komering juga terdapat pada beberapa kosa kata bahasa sunda, diantaranya: jukut (Sunda) dengan jukuk (Komering) yang berarti rumput, mulang (Sunda dan kKomering) yang berarti pulang, sireum (Sunda) dengan sorom (Komering) yang berarti semut, gancang (Sunda dan Komering) yang berarti cepat, na sebuah inbuhan yang digunakan bahasa sunda yang sama fungsinya dengan imbuhan nya dalam bahasa Indonesia juga digunakan di dalam Bahasa Komering, jelma (Sunda) dengan jelma (Komering) yang berarti manusia.

Tidak hanya dengan Suku Sunda, Bahasa Komering juga memiliki kesamaan kosa kata dengan Bahasa Melayu, baik itu Melayu Palembang maupun Melayu Piawai (Riau, Langkat, Serdang, Siak), Bahasa Aceh bahkan dengan Suku Jawa, diantara kesamaan kosa kata tersebut adalah: kawai (Melayu Piawai dan komering) yang berarti baju, sayu (Melayu Piawai dan Komering) yang berarti sedih atau pikiran jauh, biduk (Melayu Piawai dan Komering) yang berarti perahu, pinggan/pingan (Melayu Piawai dan Komering) yang berarti piring. Kemiripan dengan bahasa Aceh diantaranya, Apui (Aceh dan Komering) yang berarti api, Kulat/Kulak (Aceh dan Komering) yang berarti jamur, Tanoh (Aceh dan Komering) yang berarti tanah, Asu (Jawa dan Komering) yang berarti anjing, Rawang/Lawang (Jawa dan Komering) yang berarti pintu, Sapa (Jawa) dengan Sopo (Komering) yang serarti siapa. Demikian beberapa fakta yang ada, dan sebenarnya mungkin masih terdapat banyak lagi kemiripan kosa kata lainnya, yang tentunya tidak dapat kita sajikan semuanya dalam artikel ini. Dengan beberapa kemiripan kosa kata yang ada antara bahasa komering dengan beberapa Suku di Indonesia tersebut, apakah asal-usul Suku Komering bisa dikatakan ada hubungannya dengan dengan beberapa suku tersebut? sampai saat ini tidak ada yang dapat menyatakan hal tersebut tersebut dengan tegas, karena memang semua itu memerlukan bukti yang benar-benar bisa dipertanggung jawabkan.

Seperti yang kita ketahui bersama, di dalam Suku Komering itu sendiri terdapat paling tidak dua ragam intonasi suara dalam berbahasa (Dialek/Logat), Dialek Suku Komering Marga Bengkulah akan terdengar cenderung berintonasi lebih datar, halus serta tidak mendayu jika dibandingkan dengan Bahasa Komering Ulu (mendiami bagian hulu Sungai Komering) yang intonasinya akan cenderung lebih tegas, tinggi dan mendayu.

Kemudian jika masalah intonasi suara (Dialek/Logat) antara Bahasa Komering pada umumnya (Komering OKU) dibandingkan dengan Bahasa Batak yang memiliki kemiripan, yaitu sama-sama berintonasi dialek/logat yang tinggi dan tegas (keras/lantang) menjadi latar belakang pendapat yang mengatakan bahwa asal usul Suku Komering masih ada hubungan yang erat dengan Suku Batak di Sumatera Utara. Lalu bagaimana dengan kemiripan intonasi antara Bahasa Komering dengan Bahasa Bugis Sulawesi dan suku-suku di Indonesia timur diantaranya Flores, Maluku serta Timor, Dengan fakta tersebut apakah suku Komering bisa dikatakan ada hubungan asal usul yang sangat erat dengan suku-suku tersebut?

Tentu saja, tidak dengan semudah itu kita dapat berargumentasi dan mengeluarkan pendapat, apalagi pendapat itu sangat terkait dengan sejarah dan asal-usul suatu suku bangsa, jangan bermain-main dengan sebuah argumentasi yang nantinya akan merusak paradigma berfikir bagi para penerus generasi sebuah suku bangsa. Dalam hal ini tentunya kami tidak bermaksud untuk menyudutkan suatu pendapat atau argumentasi seseorang, namun setidaknya hal ini kami jadikan sebagai momen untuk mencoba meluruskan sebuah pendapat yang selama ini mulai beredar di masyarakat khususnya masyarakat Komering Ulu.

Demikian tulisan ini kami sampaikan, semoga paling tidak memberikan sedikit pencerahan bagi para pembaca, mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyampaian argumentasi kami, terima kasih

Kamis, 22 April 2010
Hormat Kami:
SIKINDUA PULAU GEMANTUNG

Beberapa Sumber bacaan dan informasi:
- Media Indonesia
- Lampung Post
- Argumentasi beberapa tokoh masyarakat Komering terhadap mitos yang beredar

Yang menyukai catatan ini: Mar Diah, Dedy's Sairuashada Meedy, Desi Poetry and 18 others
 
 
Adhan Taorus Busabar (April 22 at 9:35 pm) Mksh.
 
 
 
 Umar Hasan (April 22 at 10:01 pm) Terus gali sejarah qta.
 
 
 
 Pulau Gemantung (April 23 at 12:17 am) Adhan, jama-jama,,,
 
 
 
Pulau Gemantung (April 23 at 12:21 am) Kiay Muhammad Umar, Insya' Allah, mohon dukungan munih jak kaunyinna, man wat sey salah jak cara atau informasi sey sikam sampaiko katulungan ingokko riek rulusko, man sekirana jak kaunyin wat tambahan informasi atau pendapat hingan munih, jama-jama kita bahas riek sajiko dija. Terima kasih semakkungna,,,
 
Deddy Cyai Manaho (April 23 at 2:05 am) Jempol untuk mu dan teruslah memberi kan informasi2 yg berguna,sukses selalu dan semoga ALLAH SWT selalu bersama kt amiin.
 
 
Masnun Aries Syarif (April 23 at 3:17 am) Trims... Sumber sangat meyakinkan,.. Bs dijdkan referensi. Smga msh ada info2 yg trkini, aktual, tajam n trpercaya. Siapa lg klu bkn qt2, sbgai putra daerah generasi penerus bangsa. Sikam mendukung.
 
 Iwan Asaka Comunity' ( April 23 at 1:54 pm) makasihhhhhhhhh............
 
 
 
Pulau Gemantung (April 24 at 6:20 pm) Terima kasih Sikindua haturko guk Nakan Adhan, Bik Marwiah, Kiay Dedi, Kak Masnun Rik Nakan Iwan, kok sudi singgah dija...
Terima Kasih munih atas dukungan rik doa na, semoga segala kebaikan jak doa sina, tilimpah munih guk kita kaunyinna... Rik bagi sey kok sudi nginjuk cap jempolna: Okta Mursalin, Ogueed Van Sabah, Marwiah Santoso, Muhammad Syarifuddin, Masnun Aries Syarif, Dedi Conaico Hagana, Alwi Ab, Pahrul N' Pasai, Nasir Maranai Shabah, Dien Sahoda, Apriansyach Taufik, Syamsul Bahrin Pulgem, Rini Melisa Putri. Terima kasih sabalak-balakna... Payu jama-jama kita jago warisan sejarah, budaya rik adat kita, dang sampai lobon ditelan zaman, dang sampai lekang jak ingo'an keturunan... Salam Hormat dan salam sekolpah jak Sikindua Pulau Gemantung.

Lemi Normawati (June 22 at 7:05 pm) terus bagikan informasi tuk kita kaunyin,mari pandai di asal muasal dan bangga lahir di daerah komring.


Pulau Gemantung (June 23 at 2:57 pm) Yu terima kasih atas support-na... insya Allah Sikinduwa rik beberapa admin FB Pulgem barihna terus & terus menggali informasi rik kekayaan budaya tiuh kita. Tapi aman sekirana Kolpah kaunyin wat hikayat, cerita, informasi, bahasan, gurauan..., ataupun apia asak wat hubunganna rik tiuh kita, hingan sharing (bagi-bagi) dija... Thx... ^_^

SEKILAS INFO JAK RAM GUK RAM - JEMBATAN DESA PULAU GEMANTUNG RUSAK BERAT

by Pulau Gemantung on Monday, April 19, 2010 at 9:21am

(Jerambah Napal, Sabah - Pulau Gemantung)
Media Indonesia, Kamis, 11 Maret 2010 09:07 WIB

KAYUAGUNG - MI: Akibat dimakan usia, jembatan Desa Pulau Gemantung, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) sebagai penghubung ke tempatpemakaman umum (TPU) dan jalur transportasi untuk mengangkut hasil pertanian, kondisinyarusak berat, dengan sebagian badan jembatan telah ambruk.

Bagi masyarakat setempat, keberadaan jembatan sepanjang 35 meter x 3 metertersebut sangat vital, karena jembatan yang dibangun dengan konstruksi kayu itu merupakan salah satu fasilitas transportasi yang digunakan warga untuk mendukung penguatan perekonomian masyarakat terutama dalam mengangkut hasil pertanian, serta keperluan sehari-hari warga. "Memang secara sepintas kelihatannya orang yang lalu lalang di kawasan itu sepi, tetapi fungsi jembatan tersebut sangat besar, yakni sebagai penunjang perekonomian masyarakat, serta untuk untuk pengembangan desa," ujar salah satu tokoh masyarakat setempat, H Ahmad Azhari.

Atas nama masyarakat di sana, Ahmad Azhari berharap, jembatan yang letaknyaberseberangan dengan Desa Pulau Gemantung Ilir tersebut dapat segera dilakukan pembangunan secara permanen. Kepala Desa setempat, Abdul Rozak, menjelaskan bahwa jembatan tersebut dibangun atas swadaya masyarakat dengan konstruksi dari kayu. "Kayu yang digunakan jenis kayu berkelas, sehingga jembatan tersebut mampubertahan, tetapi karena usianya sudah puluhan tahun, tetap saja ambruk,"ujar dia. Guna menindaklanjuti aspirasi warga, pihaknya telah mengusulkan pembangunan jembatan itu ke Pemkab OKI melalui musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes) tahun 2010. (Ant/OL-01).

Terima kasih sikam ucapko atas komentar-komentar sei kuruk melalui facebook Pulau Gemantung:

Marwiah Santoso (April 19 at 8:38 am) Bersatu kita teguh beramai-ramai kita tidak akan runtuh kalau semangat membangunnya bersatu juga joda mak.....?


Agus Sang Pencari Kebhagian (April 19 at 9:11 am) gmana mw ksana kalau jembatangnya rusak?




Pulau Gemantung (April 19 at 9:16 am) Bonor niahn cawamu Bik, Seperti Selogan jak Lambang Pulau Gemantung Community sa "Bersatu dan Berjaya" - "Poda Ram sahuwonan".... dengan persatuan Insya' Allah kita mudah meraih kejayaan. Man mak kita sey perduli, torus sapa lagi sey haga ngarilong tiuh ram... :)


Pulau Gemantung (April 19 at 9:19am) Agus Prabu: Jembatan yang rusak bukan terletak di jalan raya (jalan utama) Desa Pulau Gemantung, melainkan terletak di sebelah barat Desa Pulau Gemantung, tapi jembatan ini cukup penting bagi sebagian masyarakat Desa Pulau Gemantung sebagai penghubung ke tempatpemakaman umum (TPU) dan jalur transportasi untuk mengangkut hasil pertanian... :)


Marwiah Santoso (April 19 at 9:21am) Jolmana cutik buhorti...jolma laman..congki porlu wat harti"piti"sipa sai halau rik sai bangik c....nah aman ya tigawi lah jolma cutik hanya memerlukan tanggung jawabna manjolma lamon maktilapah man makka upahna.

Agus Sang Pencari Kebhagian (April 19 at 9:43 am) oh berarti msih ya ksana . oh aq bru ingat disana ada kburan kakek ku.


Pulau Gemantung (April 19 at 9:49 am) Bik Marwiyah: Joda munih,,, sey cutik balak tanggung jawabna, sey lamon balak tanggunganna,,, hehe...


Agus Sang Pencari Kebhagian (April 19 at 10:43 am) pulau gumantung



Tian Ahmad Yani (April 19 at 1:36 pm) rusak nian ??
jd mak mno skrang?? msih pacak di lwati dak?



Pulau Gemantung (April 19 at 9:49 am) Agus Prabu: Iya, masih bisa... :) Sekarang Agus & Keluarga domisili dimana?


Deddy Cyai Manaho (April 19 at 2:11 pm) jd ingok sekitar th 79-80an pas anyar2na jerambah yo galak pok cambur2an wkt istrht sklh di sd 3,torus sanopa kolpah kbr solusi perbaikan nya,kok wat titik terang na?.

Pangeran Aries (April 19 at 4:07 pm) kalau jg gecang d huwonko mang mekki n pemerintah sei tikahik...

PERKEMBANGAN ISLAM DI BUMI SRIWIJAYA

by Pulau Gemantung on Tuesday, February 23, 2010 at 1:35pm
 
Diambil dari buku Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya oleh Drg. H. Muhammad Syamsu As. terbitan PT. Lentera Basritama 1996 M.

Semoga dengan hadirnya posting ini, semakin menambah wawasan kebangsaan dan keberagamaan kita, sehingga diharapkan tidak hanya sekedar ikut-ikutan didalam berpahaman sebagaimana yang diajarkan sejak kecil dibangku SD.
Kata Pengantar
Sudah sejak lama "diyakini" bahwa Islam masuk ke Indonesia lewat tangan orang-orang Gujarat dari India dan orang Persia. Dijaman penulis masih bersekolah di SD, SMP dan SMA, anggapan umum yang muncul adalah seperti itu. Buku-buku sejarah Indonesia yang menjadi bahan bacaan kala itu, semuanya mendukung teori tersebut, bahwa pembawa Islam ke Indonesia adalah orang Gujarat dan orang Persia.
Pada saat yang sama, kita mengetahui bahwa diberbagai wilayah negeri ini terdapat sebagian penduduk yang berketurunan Arab yang nota-bene beragama Islam.

Darimana mereka ini ?
Tentu saja, berarti dahulu terdapat sejumlah orang Arab yang berhijrah kesini. Dan mereka ini adalah Muslim semua. Lalu, apakah mereka saat itu tidak menyebarkan Islam ? Jika memang tidak, berarti orang Arab yang datang ke Indonesia kala itu hanya bertujuan untuk berdagang. Padahal dalam sejarahnya, bangsa Arab selalu membarengi perjalanan dagangnya dengan aktivitas dakwah. Mungkinkah Indonesia terkecualikan dari kebiasaan ini ? Inilah yang menjadi pertanyaan penulis.
Belakangan umat Islam Indonesia beberapa kali mengadakan seminar tentang masuknya Islam di Indonesia, yaitu di Medan (1963), di Minangkabau (1969), di Riau (1975), di Aceh (1978-1980) dan terakhir di Palembang (1984).
Ternyata, kesimpulan semua seminar tersebut sama, yaitu bahwa Islam masuk di Indonesia secara langsung dari negeri Arab, bukan melalui tangan kedua, dan ini sudah terjadi pada Abad pertama Hijriah.

A. Islam masuk di Sumatera Bagian Selatan
Ahmad Mansur Suryanegara, dalam makalahnya yang berjudul "Masuknya Agama Islam ke Sumatera Selatan" [1] menulis yang dapat penulis simpulkan garis besarnya sebagai berikut :

Berdasarkan pada besarnya pengaruh kekuasaan politik Islam dimasa itu, yaitu :
- Khulafaur Rasyidin 632-661 Masehi
- Dinasti Umayyah 661-750 Masehi
- Dinasti Abbasiyah 750-1268 Masehi
- Dinasti Umayyah di Spanyol 757-1492 Masehi
- Dinasti Fatimah di Mesir 919-1171 Masehi
  1. Penguasaan jalan laut perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Saat itu bangsa Arab telah menguasai perjalanan laut dari Samudra India yang mereka namakan Samudra Persia kala itu. Sejak pra Islam, maka Teluk Persia dengan pelabuhan Siraf dan Basra sebagai pusat perdagangan antara negara Arab, Persia, Cina dan negara Afrika. Sekitar abad ke-10 Masehi, navigasi perdagangannya sampai ke Korea dan Jepang. Dalam perjalanan perdagangan dengan Cina, Korea, Jepang, ditengah perjalanan di Selat Malaka mengadakan hubungan dagang dengan Zabaj (Sriwijaya).
  2. Seluruh kapal perdagangan yang melewati Selat Malaka singgah untuk mengambil air minum perbekalan lainnya. Beberapa pelabuhan pantai penting artinya bagi pelabuhan perbekalan. Begitulah Sriwijaya menguasai kota-kota pesisir seperti : Lampung, Jambi, Semenanjung Malaka, Tanah Genting Kra, bahkan Srilanka pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11.
  3. Islam masuk didaerah Sriwijaya dapatlah dipastikan pada abad ke-7. Ini mengingat buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti T'ang yang memberitakannya utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 Masehi. Karena Sriwijaya sering dikunjungi pedagang Arab dalam jalur pelayaran, maka Islam saat itu merupakan proses awal Islamisasi atau permulaan perkenalan dengan Islam. Apalagi jika di-ingat berita Cina dijaman T'ang tersebut telah ada kampung Arab Muslim di Pantai Barat Sumatera pada tahun 674 Masehi. Seperti halnya di Jawa adanya Makam Islam yang berangka tahun 1082 Masehi, demikian pula di Champa pada tahun 1039 Masehi. Makam-makam ini sudah ada sebelum kekuasaan Islam ada, artinya masih dalam kekuasaan non-Islam kala itu. 
  4. Seperti dikisahkan oleh penulis Arab yaitu Ibnu Rusta (900 M), Sulaiman (850 M) dan Abu Zaid (950 M), maka hubungan dagang antara Khalifah Abbasiyah (750 M - 1268 M) dengan kerajaan Sriwijaya tetap berlangsung.
Khusus untuk kawasan Sumatera Selatan, masuknya Islam selain oleh Bangsa Arab pedagang utusan dari Dinasti Umayyah (661 - 750 M) dan Dinasti Abbasiyah (750 - 1268 M) juga pedagang Sriwijaya sendiri berlayar kenegara-negara Timur Tengah.
Selanjutnya Ahmad Mansur Suryanegara [1] menulis bahwa sebenarnya kalau membicarakan masuknya agama Islam ke Indonesia atau ke Sumatera Selatan dengan sengaja meniadakan peranan bangsa Arab, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut hasil interprestasi sejarahnya. Perlu dipertanyakan apakah penulisnya membedakan antara pengertian masuknya Islam dengan telah berkembangnya Islam ?

Drs. M. Dien Majid dalam makalahnya berjudul "Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya" [2] menulis :
Arya Damar, seorang Adipati kerajaan Majapahit di Palembang, secara sembunyi-sembunyi telah memeluk agama Islam, karena diajari oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel) ketika singgah di Palembang dari Champa yang akan meneruskan perjalanannya kekerajaan Majapahit. Kemudian Arya Damar ini yang akhirnya dikenal dengan nama Arya Dillah atau Abdullah, berguru dengan Sunan Ampel di Ampel Denta ketika beliau sudah menetap disini. Dan ketika Arya Damar kembali ke Palembang, ia selalu mengadakan hubungan dengan ulama-ulama Arab yang bermukim di Palembang.

Dr. Taufik Abdullah dalam makalahnya yang berjudul "Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera Selatan" [3] menulis :
Van Senenhoven pada tahun 1822 Masehi membawa 55 manuskrip Arab dan Melayu yang ditulis sangat indah serta dijilid rapi yang merupakan kepunyaan Sultan Mahmud Badaruddin.
Raden Patah yang menurut tradisi historis adalah anak raja Majapahit, Prabu Brawijaya dengan puteri Cina, dilahirkan dan berguru di Palembang.

Maka setidaknya sejak akhir abad ke-16 Palembang merupakan salah satu "enclave" Islam terpenting atau bahkan Pusat Islam dibagian Selatan Pulau Emas ini. Hal ini bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab Islam pada abad-abad kejayaan Kerajaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka yang tidak pernah melepaskan keterikatannya dengan Palembang sebagai tanah asal.

Kejadian ini berarti peng-Islaman Palembang telah lebih lama daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa, bahkan jauh lebih dahulu dari Sulawesi Selatan (kerajaan Gowa dan kerajaan Laikang).
Diceritakan dalam buku sejarah "Sulu Mindanau" bahwa seorang Syarif yang bernama Syarif Abubakar yang berasal dari Palembang, telah menyebarkan Islam ke Sulu dan Mindanau, yang kemudian kawin dengan puteri setempat bernama Paramisuri.

Menurut H. Rusdy Cosim B.A. dalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kerajaan Palembang dan Perkembangan Hukum Islam" [4] mengemukakan :
Menukil kisah pelayaran Sulaiman didalam bukunya Akhbar As Sind Wal Hino yang diterjemahkan oleh R. Ramaudot, terbitan London 1733 Masehi, dinyatakan bahwa : "Seribuza (Sriwijaya) telah dikunjungi oleh orang-orang Arab Muslim, bahkan diantara mereka ini disamping mengadakan hubungan dagang juga menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk dan malah ada yang akhirnya menetap serta kawin dengan wanita setempat."
Ini memberi keyakinan kepada kita bahwa dengan kutipan diatas bahwa agama Islam telah masuk didaerah Sumatera Selatan pada masa kekuasaan Dapunta Hyang Sriwijaya.

Selanjutnya Rusdi Cosim B.A. juga menulis :
Dimasa Sultan Muhammad Mansur, mencatat nama ulama besar yaitu Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad yang lebih terkenal dengan sebutan Tuan Fakih Jalaluddin yang berjasa dalam menyebarkan agama Islam didaerah Komering Ilir dan Komering Ulu bersama-sama dengan ulama lainnya yaitu Sayid al-Idrus yang sekaligus merupakan nenek moyang masyarakat dusun Adumanis.

Disamping itu ada pula ulama-ulama dijaman Kesultanan, diantaranya :
1. Kyai Haji Kemas Abdul Somad (K.H.K. Abdul Somad Falembani)
2. Kyai Haji Masagus Abdul Hamid bin Masagus Mahmud (Kyai Marogan) dll.
Masuk dan berkembangnya agama Islam dibawa langsung oleh orang Arab Muslim, terutama akibat pertentangan antara kelompok Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah dengan kelompok Alawiyin.
Disamping itu ada juga ulama-ulama dari Iran dan India, tetapi tidak mungkin mengatasi pengaruh Arab, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.

Menurut Salmad Aly didalam makalahnya yang berjudul "Sejarah Kesultanan Palembang" [5] menulis:
Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan Kesultanan Palembang, agama Islam telah lama ada dikawasan ini. Islam masuk Palembang kira-kira pada tahun 1440 M., dibawa oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel). Pada waktu itu Palembang berada dibawah kepemimpinan Arya Damar dan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit.

Mengenai Raden Rachmat ini, diceritakan oleh Arnold sebagai berikut : "Salah seorang puteri raja Campa, sebuah negara kecil di Kamboja, di Timur Teluk Siam, kawin dengan seorang Arab yang datang ke Campa untuk tugas dakwah Islam. Dari perkawinan ini lahir Raden Rachmat yang diasuh dan dididik oleh ayahnya menjadi seorang Islam sejati."

Selanjutnya, Kyai Gede Ing Suro ini, menurut Faile, adalah turunan Panembahan Palembang dan istrinya asal dari keluarga Sunan Ampel, ia adalah dari garis keturunan Panembahan Parwata, Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya.

Sementara dari sumber-sumber Palembang, diperoleh keterangan bahwa ia adalah putera Sideng Laut, salah seorang turunan Pangeran Surabaya. Dia masih memiliki hubungan silsilah dengan Sayidina Husein, putera dari Ali bin Abu Thalib, sepupu dan menantu langsung dari Nabi Muhammad Saw dari puteri kandung beliau Fatimah az-Zahra.

Salah seorang cucu Sayidina Husein merantau ke Campa, memperistrikan salah seorang puteri Campa yang kemudian melahirkan Maulana Ishaq dan Maulana Ibrahim.

Orang-orang Arab pada masa ini terdaftar sekitar 500 Jiwa yang kebanyakan tinggal ditepi sungai Musi, diantara mereka ada yang mendapat gelar dari Sultan, seperti Pangeran Umar.
Mereka sering membantu Sultan ketika dibutuhkan.

Pada waktu Belanda menyerang Palembang tahun 1821 Masehi (dimasa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II yang akhirnya diasingkan ke Ternate), benteng Sultan dikepulauan Kemaro dan Plaju dipertahankan oleh orang-orang Arab. Hampir semua meriam dikedua benteng ini dipegang oleh orang-orang Arab.

Drs. Barmawie Umary didalam makalahnya "Masuknya Islam didaerah Ogan Komering Ulu dan Komering Ilir" [6] menulis :
Ada tiga orang ulama yang paling berpengaruh didaerah Komering Ulu dan Komering Ilir :
1. Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari/Raden Amar/Ratu Panembahan.
2. Tuan Tanjung Darus (Idrus) Salam
3. Tuan Dipulau/Said Hamimul Hamiem.

Ketiganya dikenal dengan populer oleh masyarakat sebagai Waliullah pembawa agama Islam. Keturunan seorang putera yaitu Raja Montik berputera Kyai Djaruan berputera Tuan Penghulu I berputera Tuan Ketip Kulipah I berputera Tuan Ketip Kulipah II yang berputera 2 orang; yaitu Tuan Penghulu II dan adiknya adalah Tuan Labai/Kyai Labai Djamal.

Dan yang membantu Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari dalam menyiarkan Islam didaerah ini adalah Tuan Raja Setan, Tuan Teraja Nyawa, Said Makhdum, Mataro Sungging, Rio Kenten Bakau, Usang Puno Rajo, Usang Pulau Karam, Usang Dukunb dan Kaharuddin Usang Lebih Baru Ketian.
Makam Tuan Umar Baginda Saleh/Said Umar Baginda Sari adalah disebuah pulau diseberang dusun Tanjung Atap dan Pulau ini termasyur dengan sebutan "Pulau Sayid Umar Baginda Sari."
Agama Islam mulai masuk dan disyiarkan didaerah Marga Madang Suku I oleh Tuan Umar Baginda Saleh, yaitu putera tertua dari Sunan Gunung Jati Cirebon (Syarif Hidayatullah), jadi kakak dari Sultan Hasanuddin Banten. Masuk didaerah ini sekitar tahun 1575-1600 M dan yang bertempat tinggal didusun Mandayun, sesudah itu menyiarkan agama Islam didaerah Tanjung Atap Ogan Komering Ilir sampai wafatnya.

Didaerah marga Semendawai Suku III, penyiar agama Islam adalah Tuan Tanjung Idrus Salam atau disebut juga Sayid Ahmad dengan mengambil tempat kedudukan dusun Adumanis. Ulama didaerah Semendawai Suku II dan Suku I sekitar tahun 1600 M adalah Tuan Dipulau atau Sayid Hamimul Hamiem dengan mengambil didusun Negara Sakti

Dimarga Bengkulah, pembawa dan penyiar Islam adalah Moyang Tuan Syarif Ali dan Tuan Murarob yang berasal dari Banten dan dibantu oleh Tuan Tanjung Idrus Salam.

Sumber Literatur :
[1] Ahmad Mansur Suryanegara, Masuknya Agama Islam ke Sumatera Selatan, Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan, Palembang 1984.

[2] Drs. M. Dien Majid, Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya, Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan, Palembang 1984.

[3] Dr. Taufik Abdullah, Beberapa aspek perkembangan Islam di Sumatera Selatan, Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan, Palembang 1984.

[4] H. Rusdy Cosim B.A, Sejarah Kerajaan Palembang dan Perkembangan Hukum Islam, Sekretariat Panitia Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Palembang 1984.

[5] Salman Aly, Sejarah Kesultanan Palembang, Sekretariat Panitia Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Palembang 1984.

[6] Drs. Barmawie Umary, Masuknya Islam didaerah Ogan Komering Ulu dan Komering Ilir, Sekretariat Panitia Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Palembang 1984

Sumber: http://islamic.xtgem.com/update26juni2008/islamic_studies/lain2_01.htm

Terima kasih sikam ucapko atas komentar-komentar sei kuruk melalui facebook Pulau Gemantung:

Muhammad Saleh Bengkulah (April 23 at 9:24 am) Numpang nanya kolpah aman uwat sai pandai "Said Makhdum" sejarah nah sanipa halok beliau keturunan sikam salah satu penyebar agama islam barong rik said umar baginda sari... man uwat kolpah say goh goh moyakna rik sikam tulung di add facebook sikam. trims

AYO GABUNG DI BENGKULAH COMMUNITY

by Pulau Gemantung on Wednesday, December 2, 2009 at 3:54pm

Assalamu’alaykum Wr. Wb,


Merupakan salah-satu group facebooker's yang diperuntukkan sebagai wadah untuk menjalin silahturahim bagi siapa saja yang berasal dari Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, yang dilahirkan di Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, yang pernah singgah atau tinggal di Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, yang pernah atau mempunyai hubungan keluarga/historical/emosi/kenangan dengan Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, silahkan bergabung disini. (BENGKULAH COMMUNITY)

Bersama kita berbagi cerita atau pengalaman baik, berbagi kenangan manis masa lalu, berbagi informasi penting, berbagi kasih sayang, berbagi cinta, berbagi dokumentasi tentang seputar kecamatan/tempat asal kita yang tercinta Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, baik berupa artikel, narasi, foto, video silahkan di add/tag kesini, guna memajukan, menjaga dan melestarikan kearifan dan keluhuran budaya serta potensi lokal dari Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk yang kini mulai terlupakan untuk diperkenalkan kembali baik bagi para anggota group ini ataupun kepada masyarakat secara luas.

Merupako salah-satu group facebooker's sey tiperuntukko sebagi wadah untuk ngajalin silaturahmi bagi sapa juga sey buasal jak Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, sey dilahirko di Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, sey kok jak singgah, ngaman atau tinggal di Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, sey kokjak rik uwat talian kolpah/hubungan Keluarga/ingo’an/kenangan di Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, laju marida bugabung dija.

Jama-jama kita bubagi cerita, bubagi kasih sayang, bubagi kanhagan (cinta), bubagi dokumentasi tentang sakaliling/sakitaran tiuh sey tersayang Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk, hingan berupa artikel, narasi, foto, video laju add/tag jug dija. Guna ngamajuko, jago rik ngalestariko kaholauan/kacindoan budaya serta potensi sey wat di Bengkulah/Kecamatan Tanjung Lubuk sey ganta kok mulai tilupako marida pandai tiperkenalko lagi di para anggota group sija ataupun di masyarakat kaunyin.

Daftar Kelurahan/Desa/Tiuh yang termasuk wilayah Kecamatan Tanjung Lubuk:

1. Kelurahan Tanjung Lubuk
2. Desa Pulau Gemantung Ilir
3. Desa Pulau Gemantung Induk
4. Desa Pulau Gemantung Ulu
5. Desa Pulau Gemantung Darat
6. Desa Sukarami
7. Desa Penerayan
8. Desa Bumi Agung
9. Desa Kota Bumi
10. Desa Tanjung Beringin
11. Desa Seri Tanjung
12. Desa Tanjung Merindu
13. Desa Tanjung Harapan
14. Desa Tanjung Baru
15. Desa Ulak Kapal
16. Desa Jambu Ilir
17. Desa Suka Mulya
18. Desa Tanjung Laga
19. Desa Tanjung Laut
20. Desa Ulak Balam
21. Desa Atar Balam
22. Desa Jukdadak

Ditunggu partisifasinya.

Salam Sekolpah
Sikindua Pulau Gemantung

Wassalam.

HUBUNGAN SUKU KOMERING & LAMPUNG

Tulisan ini dimaksudkan untuk memperkaya khazanah budaya semata. Mohon maaf kepada tetua adat jika ada yang kurang berkenan dalam penyampaiannya. Tulisan ini kami kutip dari salah satu sumber yang tertera pada bagian akhir artikel ini.

Bicara mengenai Komering, akan tak terpisahkan dari suku Lampung karena ia merupakan bagian etnis Lampung seperti halnya Ranau, Cikoneng, yang terletak di luar batas administratif Provinsi Lampung.

Tak terelakkan lagi, banyak orang komering yang keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering untuk mencari penghidupan baru pindah ke wilayah yang dihuni etnis Lampung lain. Mereka membuka umbul maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama mungkin oleh marga Bunga Mayang yang kelak kemudian hari menjadi Lampung Sungkai/Bunga Mayang.

Seperti diutarakan Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997): "Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang komering di tahun 1800 M. pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s.d. 1834 M kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh kebuayan Abung."

Oleh Abung, Sungkai dinyatakan sebagai Lampung pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang membawa nama kampung/marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering.

Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dsb. Di daerah Sungkai Utara, seperti diceritakan Tjik Agus (64) pernah menjabat kacabdin di daerah ini, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara. mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana.

Perpindahan berikutnya, yang dilakukan Kebuayan Semendaway, khususnya Minanga. Menyebar ke Kasui, Bukit Kemuning, Napal Belah/Pulau Panggung, Bunglai, Cempaka (Sungkai Jaya) di Lampung Utara. Ke Sukadana Lampung Timur dekat Negeri Tuho. Juga masuk ke Pagelaran, Tanggamus.

Dua Kampung Komering di Lampung Tengah (Komering Agung/Putih), menurut pengakuan mereka, berasal dari Komering. Nenek Moyang mereka berbaur dengan etnis Abung di Lampung-Tengah. Akan tetapi, mereka kurang mengetahui asal kebuayan nenek moyangnya (mungkin orang yang penulis temui kebanyakan usia muda < 50 tahun). Mereka menyebut Komering yang di Palembang "nyapah" (terendam).

Kemungkinan mereka juga berasal dari Minanga. Karena kampong ini yang paling sering terendam air. Daerah Suka Banjar (Tiuh Gedung Komering. Negeri Sakti) Gedongtataan seperti diceritakan Herry Asnawi (56) dan Komaruzaman (70) (pensiunan BPN).

Penduduk di sana mengakui mereka berasal dari Komering (Dumanis) walaupun dialek mereka sudah tercampur dengan dialek Pubian. Tidak menutup kemungkinan dari daerah lain di komering seperti Betung dsb., yang turut menyebar masuk daerah Lampung lain.

Melihat perjalanan dan penyebaran yang cukup panjang, peran dalam menyumbang etnis Lampung (Sungkai), serta menambah kebuayan Abung (Buay Nyerupa), tak ada salahnya kita mengetahui tentang dialek, tulisan, marga, maupun kepuhyangan yang ada di daerah Komering.

Bahasa Komering dalam banyak literatur bahasa Lampung termasuk dialek "a". Sedangkan dialek bahasa Komering, menurut Abu Kosim Sindapati (1970), terbagi menjadi dialek Bengkulah, dialek Tanjung Baru, dialek Semendaway, dan dialek Buay Madang.

Kemudin Zainal Abidi Gaffar (1981) membagi menjadi dialek Martapura Simpang dan Buay Madang-Cempaka-Belitang. Perbedaan utama kedua dialek ini bahwa dialek Martapura Simpang memiliki fonem /e/ dan /?/ sedangkan Buay Madang-Cempaka-Belitang tidak.

Bahasa Komering juga memiliki tulisan yang disebut Ka-Ga-Nga. Akan tetapi, orang Komering sering pula menyebutnya tulisan Ulu/Unggak. Tulisan ini dipakai orang tua pada zaman dahulu. Sekarang tulisan ini hampir tidak pernah dipakai lagi dan generasi muda tidak seberapa mengenalnya.

Adapun marga yang terdapat di Komering Ulu, di antaranya marga Semendawai suku I/II/III dengan wilayah Minanga, Betung, Gunung Batu, Cempaka, dan sekitarnya. Marga Madang Suku I/II, Marga Buay Pemuka Bangsa Raja dengan wilayahnya Rasuan, Kotanegara, Muncak Kabau, Marga Belitang I/II/III dengan wilayah Gumawang, Sumber Jaya, Kota Sari, Marga Buay Pemaca, Marga Lengkayap.

Pakaian Adat Suku Komering
Marga Kiti dengan wilayah Simpang Tanjung, Gedung Pakuan, Marga Paku Sengkunyit. Marga Bunga Mayang. Marga Buay Pemuka Peliung dengan wilayah Martapura, Kambang Mas, Banton. Marga-marga tersebut kemungkinan tidak sesuai lagi dengan daerahnya karena adanya pemekaran wilayah.

Sementara itu, di daerah ilir, bahasa Komering dipakai di daerah Tanjung Lubuk, Pulau Gemantung, dan sebagainya. Sedangkan daerah Kayu Agung merupakan sebuah marga di Kecamatan Kayu Agung. Di daerah Kayu Agung terdapat dua bahasa, yaitu bahasa Kayu Agung (BKA) dan bahasa Ogan dialek /e/. Ada variasi dialek dalam BKA. Variasi dialek yang terdapat di dusun marga Kayu Agung dianggap sebagai variasi asli, yang merupakan suatu dialek mirip dengan bahasa Komering.

Adapun asal kepuhyangan/buay/marga yang ada di daerah Komering, seperti yang diuraikan dalam Adat Perkawinan Komering Ulu oleh Hatta/Arlan, Ismail. 2002: Riwayat etnis komering yang menyebar mendirikan tujuh kepuhyangan di sepanjang aliran sungai yang kini dinamakan Komering, ringkasnya sebagai berikut.

Pada suatu ketika bergeraklah sekelompok besar turun dari dataran tinggi Gunung Pesagi, Lampung Barat menyusuri sungai dengan segala cara seperti dengan rakit bambu, dan lain-lain. Menyusuri Sungai Komering menuju muara. Menyusuri/mengikuti dalam dialek komering lama adalah samanda. Kelompok pertama ini kita kenal kemudian dengan nama Samandaway dari kata Samanda-Di-Way berarti mengikuti atau menyusuri sungai.

Kelompok ini akhirnya sampai di muara (Minanga) dan kemudian berpencar. Mencari tempat-tempat strategis dan mendirikan tiga kepuhyangan. Kepuhyangan pertama menempati pangkal teluk yang agak membukit yang kini dikenal dengan nama Gunung Batu. Mereka berada di bawah pimpinan Pu Hyang Ratu Sabibul. Kepuhyangan kedua menempati suatu dataran rendah yang kemudian dinamakan Maluway di bawah pimpinan Pu Hyang Kaipatih Kandil. Kepuhyangan ketiga menempati muara dalam suatu teluk di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Ratu Damang Bing. Di tempat ini kemudian dikenal dengan nama Minanga.

Tak lama setelah rombongan pertama, timbul gerakan penyebaran rumpun Sakala Bhra ini. Menyusul pula gerakan penyebaran kedua yang seterusnya mendirikan kepuhyangan keempat. Kepuhyangan keempat menemukan suatu padang rumput yang luas kemudian menempatinya. Mereka di bawah pimpinan Pu Hyang Umpu Sipadang. Pekerjaan mereka membuka padang ini disebut Madang. Yang kemudian dijadikan nama Kepuhyangan Madang. Tempat pertama yang mereka duduki dinamakan Gunung Terang.

Kepuhyangan kelima di bawah pimpinan Pu Hyang Minak Adipati yang konon kabarnya suka membawa peliung. Dari kegemarannya ini dinamakan pada nama kepuhyangan mereka menjadi "Pemuka Peliung". Dari kepuhyangan ini kelak kemudian hari setelah Perang Abung menyebar mendirikan kepuhyangan baru, yaitu Kepuhyangan Banton oleh Pu Hyang Ratu Penghulu.

Kepuhyangan Pakuon oleh Puhyang itu dan Kepuhyangan Pulau Negara oleh Pu Hyang Umpu Ratu. Kepuhyangan Keenam di bawah pimpinan Pu Hyang Jati Keramat. Istrinya, menurut kepercayaan setempat, berasal dari atau keluar dari Bunga Mayang Pinang. Kepercayaan ini membekas dan diabadikan pada nama kepuhyangan mereka, yaitu Bunga Mayang (kelak kemudian hari, inilah cikal bakal Lampung Sungkai).

Kepuhyangan ketujuh di bawah pimpinan Pu Hyang Sibalakuang. Mereka pada mulanya menempatkan diri di daerah Mahanggin. Ada yang mengatakan kepuhyangan daya (dinamis/ulet). Kelak kemudian hari kepuhyangan ini menyebar mendirikan cabang-cabang di daerah sekitarnya seperti Sandang, Rawan, Rujung, Kiti, Lengkayap, dan lain-lain. Nama-nama marga atau kepuhyangan yang berasal dari rumpun kepuhyangan ini banyak menggunakan nama Bhu-Way (buway).

Nama kebhuwayan ini dibawa orang-orang dari Sakala Bhra Baru generasi Paksi Pak. Ketujuh kepuhyangan yang mendiami lembah sungai yang kini dinamakan "Komering". Masing-masing pada mulanya berdiri sendiri dengan pemerintahan sendiri. Di bawah seorang sesepuh yang dipanggil pu hyang. Mereka menguasai tanah dan air yang mereka tempati dengan batas-batas yang disepakati.

Ditinjau dari tujuan gerakan penyebaran (mempertahankan kelanjutan hidup kelompok untuk mencari tempat yang memberi jaminan kehidupan) serta cara mencari tempat yang strategis dalam mengikuti aliran sungai (samanda-diway), tampaknya Kepuhyangan Samandaway adalah yang pertama dan tertua. Orang-orang Samandaway menempati muara sampai di ujung tanjung (Gunung Batu).

Yang patut kita tiru akan rasa solidaritas yang tinggi di antara mereka mengingat akan asal-usul mereka berasal dari kelompok yang sama. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam melengkapi tentang marga etnis komering seperti yang telah dilakukan Unila dalam memetakan marga serta wilayah suku Lampung.


* Sumber: Mohd Isneini, Dosen Jurusan Sipil Unila, Lampung Post, Minggu, 23 Desember 2007

Terima kasih sikam ucapko atas komentar-komentar sei kuruk melalui facebook Pulau Gemantung:
Mar Diah (November 16, 2009 at 8:43 pm) Pantes aj dsni org lmpg srg ngaku2 komring i2 daerah lampung.aq gak suka! 

Pulau Gemantung  (November 18, 2009 at 2:12 pm) haha... Tenang aja Chek, daerah Komering sudah sejak zaman Kesultanan Darussalam merupakan wilayah administratifnya... dan kemudian pada masa penjajahan Belanda daerah Komering termasuk kedalam wilayah Keresidenan Palembang.

Mar Diah (November 18, 2009) at 6:49 pm) Hehe.ksel aj dgrny..aq blg mkny liat peta..!!
Nuryadi Pahurian (November 23, 2009 at 10:10 am) Jangan marah2, kita smua msh satu garis keturunan...keturunan Nabi Adam...hehehe..
 Lion Begawoh (December 5, 2009 at 4:06 pm) Orang kayu agung tu komering atau bukan,,,??soalnyo setiap aku tanyo ma orang kayu agung,katonyo dio bukan orang komering....coba jelaskan kawanku??