Rumah Adat Marga Bengkulah atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan Rumah Depati Bahar masih berdiri kokoh di Desa Pulau Gemantung Kecamatan Tanjung Lubuk Kabupaten Ogan Komering Ilir. Rumah ini menjadi saksi sejarah perubahan zaman yang dibangun 14 tahun setelah letusan Gunung Krakatau 1883 dan sanggup bertahan hingga kini.
Rumah Adat Marga Bengkulah merupakan peninggalan dari Pesirah/Depati Ke
margaan Bengkulah yang berpusat di Desa Negeri Ratu saat ini Desa Pulau Gemantung Induk Dusun III, Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan.
Pulau Gemantung merupakan salah satu desa tua yang secara administratif termasuk dalam Wilayah Kecamatan Tanjung Lubuk, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Kini Pulau Gemantung dimekarkan menjadi empat desa yaitu Pulau Gemantung Induk (Pusat), Pulau Gemantung Ilir (Hilir/Sabah), Pulau Gemantung Ulu (Hulu) dan Pulau Gemantung Darat (Urai – Urai).
Meski telah mekar, secara kultur dan lingkungan, masyarakat Pulau Gemantung masih berbaur dengan akrab antara satu desa dengan desa yang lainya, ini disebabkan karena pada awal mulanya desa tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh.
Berdasarkan identitas suku bangsa, masyarakat Desa Pulau Gemantung merupakan bagian dari rumpun Suku Komering Bengkulah, merupakan salah satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi dari dataran Gunung Pesagi ke wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang berlangsung pada sekitar abad ke-7 Masehi, sebaran mingrasi tersebut kemudian berkembang dan beranak-pinak dan membentuk peradaban suku dan marga.
Zawawi Kamil dalam Menggali Babad dan Sejarah Lampung menyebutkan bahwa Suku Komering, terbagi menjadi beberapa marga, diantaranya Marga Paku Sengkunyit, Marga Sosoh Buay Rayap, Marga Buay Pemuka Peliyung, Marga Buay Madang, Marga Semendawai di Kabupaten OKU dan Marga Bengkulah di Kabupaten OKI.
Berdasarkan adat istiadat dan budaya Masyarakat Bengkulah menerima pengaruh dari tiga kerajaan rumpun Melayu yang pernag bekuasa dan berjaya pada masanya, diantaranya Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Skala Brak (daerah kawasan Ranau perbatasan Sumatera Selatan dan Lampung) dan Kesultanan Palembang Darussalam. Hal tersebut dapat dibuktikan dari segi bahasa yang dipergunakan sehari-hari, adat istiadat, budaya, makanan khas, hingga arsitektur Rumah Adat Marga Bengkulah yang sangat kental dengan nuansa rumpun Melayu.
Rumah Adat Marga Bengkulah pada masanya diperuntukkan sebagai pusat Pemerintahan Marga, selain itu memang pada masa selanjutnya, telah dibangun juga sebuah Balai Marga yang dipergunakan sebangai Kantor Administratif Pemerintahan Marga Bengkulah, namun dikarenakan sudah termakan usia, bangunan tersebut pun telah roboh dan hancur.
Berdasarkan informasi dari para sesepuh masyarakat, bahwa pada masa awal berdirinya, pusat pemerintahan Marga Bengkulah sebelumnya terletak di tepian Sungai Bengkulah, tepatnya di kawasan Tiuh Usang, Desa Negeri Ratu (saat ini terletak di Sabah/ Desa Pulau Gemantung Ilir), namun dikarenakan terdapat musibah kebakaran yang melanda sebagian besar rumah pemukiman warga, maka saat itu Pangeran Marga Bengkulah memerintahkan untuk memindahkan pusat pemerintahan Marga Bengkulah ke Kampung Besar (Balaq) Desa Negeri Ratu (sekarang Dusun III Desa Pulau Gemantung Induk).
Rumah Adat Marga Bengkulah didirikan pada masa Pesirah Haji Rais bin Penghulu Haji Tohir bin Penghulu Haji Muhammad, Pesirah Haji Rais merupakan anak menantu dari Pangeran Haji Hasan bin Penghulu Kemas Kamal. Penghulu Kemas Kamal sendiri berdasarkan keterangan dari catatan silsilah keluarga, bahwa beliau berasal dari 17 Ilir Palembang dan masih memiliki nasab kekerabatan dengan keluarga Kesultanan Palembang Darussalam, Penghulu Kemas Kamal menikahi anak perempuan dari Pangeran Wira Laga dari Marga Bengkulah, dari pernikahan tersebut melahirkan anak bernama Hasan yang kemudian menjadi penerus Pesirah Marga Bengkulah dengan Gelar Pangeran Haji Hasan.
Pangeran Haji Hasan memiliki tiga orang Istri, dimana dari istri pertama melahirkan seorang anak perempuan yang kemudian menikah dengan Pesirah Haji Rais, dari istri kedua melahirkan dua anak laki-laki yaitu Pangeran Haji Usman dan Zakaria dengan gelar Raden Putra (Patoro), serta seorang anak perempuan, kemudian dari istri ketiga melahirkan dua orang anak perempuan.
Dikarenakan Pangeran Haji Hasan pada saat itu belum memiliki anak laki-laki yang secara usia sudah siap untuk memimpin, maka jabatan Pesirah kemudian diteruskan oleh menantunya Pesirah Haji Rais dalam kurun masa jabatan tertentu. Setelah anak laki-laki tertua dari Pangeran Haji Hasan dirasa sudah cukup siap untuk memimpin, maka jabatan Pesirah kemudian beralih kepada Pangeran Haji Usman.
Jabatan Pesirah Marga Bengkulah dari Pangeran Haji Usman diteruskan oleh putranya Pangeran Zainal dengan gelar Nata Diraja, kemudian dilanjutkan kembali oleh putra dari Pangeran Zainal yaitu Pesirah/Depati Haji Baharuddin. Setelah kepemimpinan Pesirah/Depati Haji Baharuddin, jabatan Pesirah pasca masa kemerdekaan dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesian.
Sehingga Pesirah/Depati Haji Baharuddin merupakan Pesirah/Depati Marga Bengkulah terakhir secara turun temurun sebelum sistem pemerintahan Kemargaan resmi dihapuskan oleh pemerintah seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam masa transisi sebelum masa perpindahan sistem pemerintahan tersebut, maka diberlakukan sistem Pemerintahan Adat Kemargaan sementara oleh pemerintah dengan sistem pemilihan Pejabat Pesirah/Depati secara langsung oleh Masyarakat Marga Bengkulah hingga sistem pemerintahaan marga betul-betul dihapuskan.
Tidak banyak yang berubah dari Rumah Adata Marga Bengkulah, baik dari segi interior maupun perabot rumah tangganya. Pada dinding luar dan pagar rumah terdapat relief yang terbuat dari besi dan kayu sedangkan interior rumah dipenuhi ukiran khas Palembang dan Sriwijaya.
Bangunan utama rumah terbuat dari bahan kayu merawan, dan tiang-tiang penyangga rumah terbuat dari kayu besi/unglen, dibangun dengan sistem baji (kuncian), yang memiliki tingkat kelenturan tinggi sebagai peredam dampak jika terjadi becana gempa bumi. Tiang-tiang penyangga rumah berukuran besar dan kokoh serta tidak terlihat adanya sambungan maupun paku sebagai perekat.
Saat ini Rumah Adat Marga Bengkulah atau Rumah Depati Bahar telah dicatatkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Pariwisata sebagai bukti dari kejayaan Marga Bengkulah di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Sumber Informasi :
- Penyempurnaan artikel tulisan dari Bapak Adi Yanto Kepala Sub Bagian Media dan Komunikasi Publik Setda Kabupaten OKI.
- Informasi dari tokoh masyarakat Desa Pulau Gemantung
- Catatan Facebook dan Blog Pulau Gemantung